SURABAYA (pilarhukum) Sidang dugaan korupsi pemberian dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) di Kabupaten Bojonegoro yang mendudukkan ketua Forum Komunikasi Pendidikan Alquran (FKPQ) Kabupaten Bojonegoro Sodikin sebagai terdakwa berlangsung memanas.
Suasana memanas itu dipicu pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tarjono terkait surat pernyataan dari salah satu saksi yang telah diperiksa penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro.
Isi dari pernyataan saksi yang ditunjukkan jaksa Tarjono dimuka persidangan itu adalah dalam pemberian dana bantuan dari Kementerian Agama (Kemenag) RI tersebut, tidak ada potongan.
Mendapati fakta tersebut sontak memicu reaksi dari kuasa hukum Sodikin yakni Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A.
Pengacara yang karib disapa Johanes ini menilai bahwa ada fakta yang menyatakan bahwa terdakwa tidak melakukan pemotongan dana bantuan, namun sengaja disembunyikan penyidik, dengan cara tidak memasukkan surat pernyataan tersebut dalam berkas perkara dan tidak ada dalam BAP.
Perdebatan yang terjadi antara Jaksa dan pengacara ini pun akhirnya ditenangkan oleh ketua majelis hakim I Ketut Suarta.
Dalam persidangan sendiri ada tiga saksi a de charge (meringankan) yang didatangkan tim kuasa hukum Terdakwa, mereka adalah M. Chosbaliyah, Ketua Kortan Kecamatan Kapas Bojonegoro; Fatkhurrahman, Ketua TPQ Alrosyid Desa Wedi Kecamatan Kapas dan Cipto selaku Ketua TPQ Dari Mukminin Dusun Sugih Desa Malo Kecamatan Malo Bojonegoro.
Secara bergantian, tiga orang saksi meringankan itu menerangkan banyak hal, termasuk adanya dana bantuan yang telah diterima lembaga pendidikan yang dikelola masing-masing saksi.
Ketiga saksi yang diperiksa secara bergantian memberikan keterangan yang tak jauh berbeda. Ketiganya mengaku bahwa Jaksa telah mendikte setiap keterangan yang mereka berikan dalam bentuk surat pernyataan bahwa benar memang ada pemotongan dana bantuan sebesar Rp. 1 juta tersebut.
Saksi Chosbaliyah dan saksi Fatkhurrahman misalnya, keduanya mengatakan, mereka dipaksa untuk menyalin ulang surat pernyataan yang draftnya telah dipersiapkan penyidik.
Saksi Fatkhurrahman menyebutkan, ia bersama beberapa orang yang saat itu diminta hadir dikantor Kejari Bojonegoro, diminta untuk membuat surat pernyataan.
“Jika ada kata-kata yang tidak sesuai, kami diminta untuk menghapusnya dan menyalin ulang kalimat pernyataan yang sama persis dengan pernyataan yang telah disiapkan jaksa,”kata Fatkhurrahman di ruang sidang Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (22/3/2022).
Kesaksian yang sama juga dinyatakan saksi Chosbaliyah. Kedua saksi ini kemudian ditanya tim penasehat hukum terdakwa, apakah isi dari surat pernyataan itu memang benar faktanya?
“Faktanya tidak benar. Yang benar adalah, tidak ada pemotongan dari pemberian dana bantuan tersebut,”ujar Chosbaliyah.
Pinto Utomo, SH., M.H, salah satu penasehat hukum terdakwa kemudian bertanya, jika faktanya tidak benar, mengapa Chosbaliyah dan dua saksi lainnya yang dihadirkan didalam persidangan kali ini, mau menandatangani surat pernyataan yang sudah mereka buat.
“Kami dipaksa dan mejanya digedor-gedor. Kami juga diancam tidak boleh pulang, jika kami tidak menulis seperti yang diminta kepada kami,”tandas Chosbaliyah.
Menyikapi jalannya persidangan yang berlangsung kali ini, Pinto Utomo saat ditemui usai persidangan menilai bahwa perkara dugaan korupsi yang menjadikan Sodikin sebagai terdakwa semakin terang benderang.
Lebih lanjut Pinto menjelaskan, dari sekian banyak saksi yang dihadirkan, hingga tiga saksi meringankan yang dihadirkan tim penasehat hukum terdakwa Sodikin, semuanya mengaku dipaksa untuk membuat surat pernyataan yang formatnya telah dipersiapkan penyidik.
“Pada persidangan ini kembali terbongkar, bagaimana penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro ketika memperoleh alat bukti, dilakukan dengan cara-cara tidak benar dan melawan hukum,” ujar Pinto.
Tiga saksi yang dihadirkan pada persidangan ini, lanjut Pinto, juga mengakui, ketika mereka diminta untuk menyalin ulang isi surat pernyataan yang isinya bahwa memang benar ada pemotongan dalam pemberian dana bantuan kepada lembaga-lembaga pendidikan agama di Kabupaten Bojonegoro, harus menyalin ulang dan isinya harus sama persis dengan surat pernyataan yang draftnya telah dipersiapkan penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro.
“Jika para saksi ini membuat surat pernyataan yang kalimatnya tidak sama dengan surat pernyataan yang formatnya telah disiapkan penyidik kejaksaan, para saksi itu disuruh untuk menghapusnya dan mengganti dengan yang telah dipersiapkan penyidik,”ungkap Pinto.
Saat para saksi ini diperiksa, sambung Pinto, juga tidak wajar. Sebagaimana diucapkan saksi Chosbaliyah dimuka persidangan, ia bersama 22 orang saksi yang diperiksa saat itu dihari yang sama, diperiksa mulai pukul 09.00 Wib sampai pukul 01.00 Wib.
“Dibawah tekanan, Ketua Kortan Kecamatan Kapas Bojonegoro ini diminta mengaku diperintah terdakwa Sodikin untuk meminta uang Rp. 1 juta ke lembaga-lembaga penerima bantuan. Dari uang Rp. 1 juta itu, yang Rp. 600 ribu supaya diserahkan ke terdakwa Sodikin, yang Rp. 400 dikelola sendiri,” papar Pinto.
Karena faktanya tidak benar dan keterangan yang dibuat dikejaksaan dibuat dibawah tekanan dan intimidasi, Pinto kembali menjelaskan, pada persidangan ini, saksi Chosbaliyah akhirnya mencabut isi BAP yang telah ia buat sebelumnya.
“Saksi Chosbaliyah tak kuasa mengakui adanya pemotongan dana bantuan dari Kemenag RI itu karena diintimidasi tidak boleh pulang dan akan dijerat korupsi juga, jika tidak menuruti permintaan penyidik,”tandasnya.
Pinto kembali mengkritik model pemeriksaan yang dilakukan penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro kepada para saksi yang tidak wajar dan bertentangan dengan undang-undang.
Berkaitan dengan adanya surat pernyataan saksi yang menyebutkan, dalam pemberian dana bantuan dari Kemenag ini memang tidak ada potongan, Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A menambahkan, hal itu bertentangan dengan ketentuan pasal 75 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Lebih lanjut Johanes Dipa menjelaskan, dalam ketentuan pasal 75 ayat (1) ini menyebutkan, semua model pemeriksaan yang dilakukan penyidik, harus dituangkan dalam BAP.
“Sebagaimana ketentuan pasal 75 KUHAP, setiap pemeriksan yang telah dilakukan penyidik, harus dibuatkan berita acara pemeriksaan dan ditandatangani penyidik,”jelas Johanes Dipa.
Dengan adanya surat pernyataan tidak ada pemotongan sebagaimana ditunjukkan penuntut umum dimuka persidangan, sambung Johanes Dipa, dimana berita acaranya? Inikan juga alat bukti.
“Apakah alat bukti yang diperoleh penyidik kejaksaan yang telah disita ini boleh tidak ada berita acaranya atau tidak dibuatkan berita acaranya?,”tanya Johanes Dipa.
Kalau penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro telah melakukan pemeriksaan, lanjut Johanes Dipa, buatlah berita acara pemeriksaannya dan ditanda tangani.
Begitu juga jika penyidik telah melakukan penyitaan alat bukti, haruslah dibuatkan berita acara penyitaan. Hal itu untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap pemeriksaan yang telah dilakukan penyidik.
Dengan adanya surat pernyataan dari salah seorang saksi yang ditunjukkan penuntut umum dimuka persidangan ini, Johanes Dipa meyakini bahwa benar ada rekayasa yang membuat Sodikin harus diadili dan dianggap sebagai pihak yang harus bertanggungjawab dengan adanya pemotongan tersebut.
“Persidangan ini bertujuan untuk menguji dakwaan yang disusun JPU berdasarkan bukti yang dimiliki penyidik dan tertuang dalam BAP,”papar Johanes Dipa.
Berkas perkara yang ada pada tim penasehat hukum terdakwa, sambung Johanes Dipa, tidak ada surat pernyataan yang bunyinya tidak ada potongan, sebagaimana yang telah ditunjukkan penuntut umum dimuka persidangan.
Dengan ditunjukkannya adanya surat pernyataan dari salah seorang saksi dimuka persidangan ini, Johanes Dipa makin meyakini adanya pelanggaran hukum dalam hal perolehan alat bukti.
“Karena cara pembuatannya tidak benar, maka hasilnya juga tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta,” ujar Johanes Dipa.
Jika proses pemeriksaannya dilakukan dengan cara tidak benar, apalagi melanggar hukum, lanjut Johanes Dipa, maka hasilnya tidak bisa digunakan sebagai alat bukti. [Azy]