Foto : Persidangan Mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto di PN Tipikor Surabaya
SURABAYA (pilarhukum.com) – Sidang Tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 37 miliar dengan terdakwa Mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto, Jumat (31/5/2024) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.
Sidang dengan keterangan saksi tersebut, Jaksa Penuntt pada KPK menghadirkan dua saksi untuk dimintai keterangannya, diantaranya Aris Hilmia Nugraha Staf lapangan PT. Pilar Samudra Jaya dan Sonny Darma Pemilik toko Gorden di Surabaya.
Keduanya diperiksa dan dimintai keterangan secara bergantian. Jaksa Penuntut pada KPK Luki Dwi Nugroho lebih banyak fokus memintai keterangan terhadap saksi Sonny Darma, yang diketahui mengirim uang sebesar Rp 450 juta kepada terdakwa Eko Darmanto.
Dari pengakuan saksi, uang yang diberikan itu untuk bisnis mobil klasik. Hanya saja, berkali-kali Sonny menegaskan dalam persidangan, bahwa dirinya tidak mengerti dengan mobil klasik. Usaha yang dilakukan sama terdakwa itu hanya berdasarkan kepercayaan.
Tak hanya itu, saksi juga tidak mengetahui rumah dan tempat usaha mobil klasik yang diberitahu terdakwa. dirinya mengaku hanya pernah melintas di depan rumahnya saja dalam kondisi tertutup.
“Namanya pengusaha, pasti ada hitung-hitungannya, tidak mungkin mengeluarkan uang tanpa memahami usaha tersebut. Namun anehnya pengakuan saksi yang tidak mengetahui tempat usaha terdakwa. Ini keterangannya sangat tidak masuk akal,” tegas Jaksa Luki saat ditemui uai sidang.
Belum lagi investasi untuk usaha mobil klasik itu diberikan pada 2017 lalu. Sementara, di tahun itu keduanya baru saja kenal. Luki menilai investasi itu bukan untuk bisnis jual beli mobil klasik. Melainkan gratifikasi untuk bisnis gordennya.
Dugaan itu diperkuat dengan keterangan terdakwa yang mengaku beberapa gorden yang dijualnya adalah barang impor. Sejalan dengan pekerjaan terdakwa di lingkungan Bea Cukai. Saksi juga menceritakan, saat ia berinvestasi itu, penjualan gorden lagi menurun.
“Ada dugaan, saksi memberi uang tadi untuk memperlancar urusan impor gorden yang ia jual. Supaya tidak ada masalah di kepabeanan. Lalu, hal paling tidak masuk akal ketika penjualan lagi turun, saksi Sonny malah investasi ke usaha yang ia sendiri tidak memahami. Kan gak mungkin,” tambahnya.
Ia pun menilai, saksi tersebut terjebak dengan jawabannya sendiri. Luki juga menilai, masih banyak keterangan saksi yang masih ditutup-tutupi. Tetapi ia menegaskan, sebelum saksi memberikan keterangannya, terlebih dahulu ia sudah disumpah. Jadi, sudah seharusnya saksi memberikan keterangan jujur.
“Tapi memang di persidangan, kami para pihak baik penasehat hukum, jaksa penuntut maupun Hakim, tidak bisa memaksakan kesaksian memberikan jawaban sebagaimana yang kami harapkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Gunadi Wibakso, penasihat hukum terdakwa mengatakan, sudah sangat jelas kalau hubungan saksi dan kliennya hanya sebatas kerjasama bisnis. Saksi Sonny investasi kepada terdakwa Eko. Bisnis jual mobil klasik.
Menurutnya, dalam dunia bisnis, ada istilah bisnis cincai. Konsep itu banyak orang yang tidak mengetahui. Konsep bisnis seperti itu dilaksanakan berdasarkan kepercayaan. Mereka akan menyampingkan perjanjian.
“Persoalan investasi ini kan ada hasil atau tidak. Kalau berhasil artinya modal kembali. Kalau gagal, ya semua uangnya hilang. Bisnis cincai ini banyak yang lakukan. Banyak juga yang sudah berhasil. Modalnya itu hanya saling percaya,” ucapnya.
Hanya saja, ia enggan menceritakan apa yang mendasari saksi bisa percaya dengan terdakwa begitu cepat. Mengingat, perkenalan keduanya dan saat terjadi investasi itu terbilang sangat cepat. Di tahun yang sama. “Saya tidak mengetahui itu,” ucapnya singkat. [Fiq]