Ahli Pidana Sebut Alat Bukti Yang Diperoleh Dengan Intimidatif Adalah Tidak Sah

oleh -2642 Dilihat
oleh

 

SURABAYA (pilarhukum.com) Dua ahli didatangkan kuasa hukum Sodikin dalam persidangan dugaan korupsi Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) kepada lembaga-lembaga pendidikan di Kabupaten Bojonegoro. Dua ahli tersebut adalah Dr. Hufron, SH.,M.H dan Dr. M. Sholehuddin, SH., M.H.

Tak menyiakan kesempatan, kuasa hukum Terdakwa Sodikin yakni Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A dan
dan Pinto Utomo SH MH pun menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan kejanggalan proses penyidikan sehingga membawa Sodikin ke kursi pesakitan.

Pinto Utomo misalnya, pengacara asal Bojonegoro ini menyoal jeratan pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 tentang penyalahgunaan kewenangan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Sodikin.

Pinto kemudian memperlihatkan adanya surat keputusan yang menyatakan bahwa Sodikin adalah Ketua Forum Komunikasi Pendidikan Al’quran (FKPQ) wilayah Kabupaten Bojonegoro.

Kepada Hufron, Pinto pun bertanya, jika berdasarkan surat keputusan ini, apakah Sodikin bisa dinyatakan sebagai pejabat tata usaha negara?

Setelah melihat surat tersebut, Hufron kemudian berpendapat, jika dilihat dari bentuknya, yang mengeluarkan surat keputusan tersebut adalah badan hukum privat.

“Karena masuk dalam badan hukum privat maka keputusan itu tidak bisa dinyatakan bahwa Sodikin adalah pejabat tata usaha negara, sehingga pengangkatan Sodikin sebagai Ketua FKPQ Kabupaten Bojonegoro hanya bisa dinyatakan pemberian kewenangan berdasarkan hukum publik,” kata Hufron.

Tim kuasa hukum terdakwa pun menyoal tentang proses penghitungan kerugian negara dan siapa yang berhak menghitungnya. Dua ahli sepakat bahwa kerugian keuangan negara itu harus nyata dan dapat diketahui pasti jumlahnya sehingga lebih bersifat actual loss.

“Kerugian itu harus nyata dan dapat dihitung secara pasti jumlahnya. Dan untuk mengetahui kerugian yang nyata dan pasti itu, dalam melakukan pemeriksaan, harus dilakukan satu persatu,” kata Hufron.

Hal ini penting, kata Hufron karena untuk membuktikan kebenaran materiil tentang jumlah pasti berapa kerugian yang dimaksud. Hal ini juga untuk mengetahui perbuatan melawan hukum atau penyalah- gunaan wewenang, sebagaimana yang dimaksud.

Tim kuasa hukum Terdakwa pun meminta agar ahli menjabarkan tentang alat bukti yang sah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP itu harus memenuhi empat kriteria.

Sholehuddin pun menjawab, empat kriteria yang dimaksud ahli pidana ini adalah pertama valid. Artinya, alat bukti yang sah itu menyangkut keabsahan.

“Bagaimana cara memperoleh alat bukti itu dan dari mana serta kapan alat bukti itu diperoleh. Apakah dalam memperoleh alat bukti itu legal atau ilegal?,” tanya Sholehudin.

Kriteria kedua menurut Sholehudin, alat bukti yang sah itu haruslah relevan. Semua alat bukti termasuk barang bukti, bukti-bukti yang diajukan dipersidangan, nanti akan dipilah dan dijadikan apakah ini bisa dijadikan alat bukti.

Yang perlu diingat, sambung Solehudin, semua alat bukti yang sah, harus berhubungan langsung dengan delik pemidanaan.

Sholehudin kemudian mengambil contoh tindak pidana pemalsuan surat. Terkait hal ini, Sholehudin menjelaskan, bahwa alat bukti dari perkara ini harus ada suratnya.

Kemudian, syarat ketiga adalah signifikan. Yang dimaksud dengan signifikan adalah haruslah yang penting-penting saja, yang berhubungan dengan tindak pidana itu. Syarat terakhir yang berkaitan dengan alat bukti yang sah adalah kredible, artinya dapat dipercaya.

Johanes Dipa Widjaja, kuasa hukum Sodikin menanyakan pada ahli apa konsekuensinya atau akibat hukumnya jika ada alat bukti yang patut diduga diperoleh dengan cara tidak sah misalnya pemeriksaan itu dilakukan dengan cara-cara intimidatif, kemudian ada pemeriksaan yang dilakukan mulai pagi hingga pukul 01.00 Wib.

Sholehuddin menjawab jika perolehan alat bukti itu tidak sesuai dengan empat kriteria yang telah dijelaskan, maka hal itu akan dijadikan pertimbangan hakim didalam memutus, menilai suatu tindak pidana.

Semua itu bisa dijadikan alat bukti, menurut penjelasan ahli. Namun, hal itu bukanlah alat bukti yang sah. Dan jika bukan dalam alat bukti yang sah, tidak bisa dijadikan dasar didalam pengambilan keputusan pemidanaan.

“ Jika ada keterangan saksi, baik saksi ade charge maupun saksi a charge yang keterangannya diperoleh dengan cara dibawah ancaman, paksaan, maka kesaksian saksi itu menjadi tidak sah,” ujar Sholehuddin.

Lebih lanjut Sholehuddin menyatakan tidak semua keterangan saksi yang dihadirkan di persidangan bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah.

Johanes Dipa meminta penjelasan ke ahli, tentang In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores atau bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya.

“Jika terdapat keragu-raguan, majelis hakim dapat berpegangan pada prinsip Asas In Dubio Pro Reo. Manakah yang dapat diambil majelis hakim ketika memutus suatu perkara?,”tanya Johanes Dipa.

Sholehudin kemudian menjelaskan, dalam suatu perkara, pasal boleh sama, namun fenomena kasus pastilah berbeda.

Karena itu, menurut Sholehudin, pentingnya surat dakwaan dengan pemeriksaan dipersidangan, karena kebenaran itu bertujuan untuk mencari kebenaran materiil dengan cara mendapatkan dua alat bukti yang sah.

Usai sidang, Johanes Dipa Widjaja menyatakan dari keterangan ahli dapat disimpulkan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakjm bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP.

“ Ahli tadi jelas mengungkapkan bahwa apabila alat bukti diperoleh dengan cara intimidatif maka tidaklah dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah,” ujar Johanes Dipa yang juga Kepala Bidang pembelaan profesi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Surabaya ini.

Demikian pula pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dari pagi sampai tengah malam (dini hari) juga melanggar yuridis etis, pemeriksaan tersebut tidak patut dan tidak etis sehingga tidak dapat memenuhi kriteria sebagai alat bukti yang sah.

“ Ada postulat dasar pembuktian yaitu in criminalibus probantiones esse luse clarioles yang artinya bahwa dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya, oleh sebab itu apabila terdapat keraguan maka hakim harus berpegang teguh pada asas in dubio proreo artinya bahwa dalam keragu-raguan putusan yang diambil haruslah yang menguntungkan terdakwa,” ujarnya.

“ Ada adagium lebih baik melepaskan 1000 penjahat daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah,” lanjut Johanes Dipa.

Lebih lanjur Johanes Dipa menyatakan bahwa terkait keteranga ahli yang menerangkan bahwa dalam menentukan kerugian keuangan negara haruslah real loss bukan potential loss artinya kerugian nyata-nyata, jadi apabila dalam surat dakwaan mengatakan bahwa terdakwa dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 1 M maka didalam persidangan harus dibuktikan adanya kerugian Rp 1 M tersebut. Demikian pula jika terdakwa dianggap memungut dari 100 lembaga maka haruslah diperiksa keseluruhan lembaga tersebut agar dapat ditemukan kebenaran materiil.

“ Jadi tidak dapat hanya diambil sebagian saja misalnya 10 lembaga dianggap mewakili 90 lainnya. Jika dalam surat dakwaan menyebutkan 10 peristiwa maka harus dibuktikan keseluruhan 10 peristiwa tersebut,” pungkasnya. [Azy]

 

 

 

Dikirim dari iPhone saya

No More Posts Available.

No more pages to load.